Mengapa tidak? Sesepuh-sesepuh kita Walisongo–penyebar Islam di Tanah Jawa–telah mencontohkan, bagaimana tradisi dan budaya non-Islam berhasil diislamisasi secara substansi. Wayang yang dulu hanya dikenal dengan wayang beber, diubah secara revolusioner bentuknya menjadi wayang kulit, bahkan isinya dengan cerita yang mendekatkan kepada ajaran tauhid. Misalnya, para dewa-dewa yang ada di wayang itu, silsilah-silsilahnya berhenti sampai Nabi Adam AS, juga banyak memuat ajaran kebaikan.

Baca Juga: Pelabuhan Sekupang Tampak Sepi Pasca Libur Imlek

Secara istilah, karena kita orang Nusantara sudah banyak tradisi dan budaya, tidak serta merta dihilangkan begitu saja ketika Islam masuk. Ini berkesesuaian dengan ajaran Islam itu sendiri yang tidak membasmi yang telah ada, namun menyempurnakan. Walisongo menjaga dan berhasil mengonversi itu dengan baik. Istilah “kiai” yang sudah ada di sini tetap digunakan, tidak dengan kata “ustadz” atau “syekh.” Istilah “sembahyang” tetap dipakai meski isi dan perilakunya adalah shalat. Istilah “langgar” tetap di pakai, tidak langsung dengan masjid atau mushalla. Bahkan, para pendahulu tidak langsung dengan kata ganti Allah melainkan kata “Pangeran” yang dipakai. Namun, pelan tapi pasti, bungkus itu isinya dimasuki ajaran yang Islami.