Pertama, bahwa generasi muda Islam–khususnya kaum muda NU–tak perlu mengutuk-ngutuk Hari Valentine. Karena itu tidak hanya soal sejarah dan budaya, namun juga industri. Semakin digembar-gemborkan, mereka akan semakin laris jualan coklat. Jika dikutuk-kutuk, bahkan dengan fatwa sekalipun, itu justru tidak memberikan solusi yang cerdas, alih-alih justru upaya yang sia-sia. Intinya, Hari Valentine hanyalah label dan bungkus. Isinya? Itulah para tugas generasi muda Islam untuk mengisi dan merayakannya dengan hal yang tak bertentangan dengan agama. Jika hanya memberi kado dan hadiah lain, saya kira itu tak masalah.
Kedua, generasi muda Islam khususnya kader muda NU mesti bisa membikin budaya tandingan Hari Valentine, yang isinya positif, konstruktif dan inspiratif. Misalnya, membikin Valentine Days dengan kongko budaya, bedah buku, kajian cinta dalam Islam, bedah film, atau hal yang kekinian dan hits lain. Dengan begitu, bungkus yang memang dari budaya Barat itu kita filter menjadi budaya yang secara substansi tak bertentangan dengan ajaran Islam.
Tinggalkan Balasan