Harian Memo Kepri | Pertanian — Kepulauan Riau menyimpan banyak potensi sumbedaya genetik (SDG) lokal. Salah satunya adalah produk lalapan dengan bau khas yang memiliki peminat sendiri, yakni petai atau pete.

Penyebab biji petai bau adalah kandungan asam amino yang mengandung unsur sulfur (s), ketika terdegradasi menjadi komponen yang lebih kecil, asam amino itu akan menghasilkan satu gas H2S (Hidrogen sulfida) yang terkenal sangat bau. Petai (Parkia sp.) atau pete merupakan bagian dari famili Fabaceae.

Tanaman ini memiliki jenis daun majemuk yang tumbuh berhadapan. Buahnya tumbuh menjuntai dan bergerombol dari satu ujung cabang. Buah petai termasuk kelompok polong. Dalam satu gerombol jumlah buah dapat mencapai belasan. Biji tanaman ini menghasilkan bau yang khas dan menyengat, namun justru banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Petai mengandung nilai gizi tinggi, mencakup protein, lemak, dan karbohidrat.

National Center for Biotechnology Information merilis data mengenai kandungan buah petai sebagai sumber mineral, vitamin C dan α-tocopherol (vitamin E), serta kandungan thiamin (vitamin B1, 2.8 μg/g) (rimbakita.com).

Sampai dengan saat ini sudah diketemukan 20 pohon  Petai Gajah yang berumur diatas 40th di Kabupaten Bintan yang dapat digunakan sebagai pohon induk, yang potensial dapat dikembangkan ke masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut, telah dilakukan identifikasi sumberdaya genetik Petai Gajah oleh Balai Benih Induk Provinsi Kepulauan Riau bersama dengan staf peneliti BPTP Kepri. Lokasi pete Gajah di Kampung Betung, Desa Penaga, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan.

Identifikasi tersebut dilakukan sebagai tahap awal pemilihan pohon induk untuk pemurnian kultivar/klon yang akan menjadi benih sumber. Tanaman petai yang diamati memiliki umur sekitar 80 tahun dengan kisaran tinggi pohon 30 m. Petai Gajah tersebut berbuah pada dua musim dalam setahun, yakni April – Mei dan Agustus – September. Dalam satu musim panen, petai ini dapat memproduksi hingga mencapai 200 kg per pohon.

Menurut keterangan petani, harga petai yang dijual per ikat (dengan isi 7-10 buah) berkisar antara Rp. 25.000,- hingga Rp. 35.000,- Sehingga, petani dapat meraup pendapatan sekitar Rp. 7.000.000,-. untuk satu pohon yang dimiliki tiap musim panen.

Menurut Kepala BPTP Kepulauan Riau Dr. Ir. Sugeng Widodo, MP., tanaman Petai Gajah Bintan ini perlu untuk dilestarikan. Selain sebagai upaya konservasi sumberdaya genetik lokal, tanaman ini juga memiliki potensi untuk memberi tambahan penghasilan bagi petani.

Perbanyakan benih secara generatif relatif lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan benih secara vegetatif. Perbanyakan benih petai dengan tujuan komersial lebih tepat melalui cara vegetatif (grafting atau okulasi). Hal tersebut karena pada budidaya komersial petai, mutlak diperlukan ketepatan varietas yang akan dikembangkan.

BPTP Kepri telah mengupayakan identifikasi SDG lokal yang memiliki potensi lebih sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2020. “Beberapa jenis tanaman perkebunan seperti durian, rambutan, dan biriba telah diidentifikasi dan karakterisasi.

Dengan munculnya perhatian untuk petai Gajah yang akan dikembangkan ini, maka perlu segera dilakukan upaya karakterisasi tanaman agar dapat didaftarkan ke Pusat Pendaftaran Varietas dan Peraturan Pertanian (PPVTPP). Tanaman yang telah terdaftar menjadi varietas lokal akan semakin mempermudah proses konservasi,” Kata Sugeng.


Penulis | Salfina N. Ahmad, A. Dhienar, Melda S.(BBI), dan S. Widodo.