Nasional

Pendidikan: Aggaran Jumbo, Hasil Minim

11
×

Pendidikan: Aggaran Jumbo, Hasil Minim

Sebarkan artikel ini
Sebuah SD di Bogor. (dok. detik.com)|

Harian memo Kepri | Pendidikan —Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mengeluhkan penggunaan anggaran pendidikan Indonesia yang dinilai minim hasil. Keluhan ini tentu bukan tanpa sebab, melihat pemerintah telah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk pendidikan di Indonesia yaitu sebesar 20% dari APBN dengan jumlah dana yang terus bertambah setiap tahunnya.

Dalam 5 tahun terakhir, anggaran pendidikan selalu di atas Rp 400 triliun dengan jumlah tertinggi pada 2019 sebesar Rp 492,5 triliun. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan alokasi APBN 2019 untuk infrastruktur yaitu sebesar Rp 415 triliun. Hal ini menunjukkan betapa pemerintah percaya bahwa pendidikan adalah investasi terbaik bangsa ini.

Indonesia vs Vietnam

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam suatu wawancara menyatakan bahwa Indonesia dan Vietnam sama-sama mengalokasikan anggaran sebesar 20% dari total APBN untuk pendidikan. Namun, kualitas pendidikan kita masih jauh di bawah Vietnam. Pada 2015, negara-negara peserta The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melaksanakan penilaian atas sistem pendidikan dari 70 negara peserta. Hasilnya, Indonesia berada pada posisi ke-62, sangat jauh di bawah negara Asia Tenggara lainnya

seperti Vietnam (posisi ke-8) dan Singapura (posisi pertama).

Programme for International Students Assessment atau lebih sering dikenal dengan PISA adalah sebuah program penilaian tiga tahunan yang diselenggarakan oleh OECD untuk menilai kualitas, kemerataan, dan efektivitas sistem pendidikan di suatu negara. Penilaian tersebut dilakukan dengan melakukan survei kemampuan siswa-siswi berusia 15 tahun dalam bidang sains, matematika, dan literasi.

Rendahnya peringkat Indonesia berdasarkan PISA membuktikan bahwa usaha meningkatkan mutu pendidikan tidak sesederhana menambah proporsi dana dalam APBN. Karena seberapa pun banyaknya dana yang dikucurkan untuk pendidikan, jika tidak ada perencanaan dan strategi yang baik, maka dana tersebut tidak akan pernah cukup dan bahkan menjadi sia-sia.

Sistem Pendidikan Vietnam

Perhatian yang besar terhadap pendidikan telah ditunjukkan Vietnam sejak lama. Berdasarkan Laporan Hasil Kunjungan Kerja Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional ke Vietnam pada tahun 2000, anggaran pendidikan Vietnam pada saat itu 15% dari APBN, di kala anggaran pendidikan Indonesia masih sebesar 3,8% dari APBN. Mereka percaya bahwa pengembangan sistem pendidikan merupakan sebuah usaha jangka panjang yang harus dilakukan secara berkesinambungan.

Hal itu terlihat dari filosofi bangsa Vietnam yang menyatakan, “Menanam pohon yang kokoh diperlukan sepuluh tahun, membangun manusia berkualitas diperlukan waktu beratus tahun.” Mereka pun tak berhenti untuk melakukan pembaharuan dan pengembangan sistem pendidikan agar sejalan dengan usaha memajukan sektor industri, modernisasi, dan integrasi internasional.

Keberhasilan sistem pendidikan di Vietnam ditentukan oleh output siswanya, yaitu moral, kecerdasan, kesehatan, dan bakat. Untuk dapat mencapai output tersebut, Vietnam dikenal dengan tiga fokus utama pendidikannya. Pertama, kepemimpinan yang berkomitmen. Pemimpin negara berkomitmen dalam membangun SDM melalui pendidikan yang visioner dan sinkron dengan rencana strategis negara.

Kedua, kurikulum yang berfokus. Kurikulum dibangun untuk menghasilkan siswa-siswi yang proaktif dan kreatif. Pola pendidikan dengan cara menghafal dihapuskan dan digantikan dengan pemahaman konsep. Selain itu, pendidikan juga menjadi sarana penetrasi nilai-nilai nasional dan lokal seperti etika, moral, patriotisme, unity, community spirit, dan tradisi.

Ketiga, investasi pada pengembangan guru. Guru menjadi kunci utama dalam proses pengembangan sistem pendidikan. Oleh sebab itu, Vietnam bersungguh-sungguh dalam memberikan pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Vietnam juga memperhatikan kesejahteraan guru dengan memberikan gaji yang relatif lebih tinggi dari profesi lain, dengan insentif yang berbeda bagi guru di kota dengan guru di pelosok.

Tiga Masalah Besar

Dari berbagai hal yang harus segera dibenahi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada tiga masalah terbesar yang saat ini dihadapi dunia pendidikan Indonesia. Yaitu operasional sekolah, keterbatasan guru, dan kesejahteraan guru.

Saat ini, operasional sekolah dibiayai oleh pemerintah melalui Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sehingga sekolah tidak diperbolehkan lagi melakukan pungutan dari siswa. Dana BOS ini disalurkan ke sekolah setiap tahun berdasarkan jumlah siswa dan tingkatan sekolah.


Berdasarkan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, SD menerima Dana BOS sebesar Rp 800.000,00 per siswa per tahun, SMP sebesar Rp 1.000.000,00 per siswa per tahun, SMA sebesar Rp 1.400.000,00 per siswa per tahun, SMK sebesar Rp 1.600.000,00 per siswa per tahun dan SLB sebesar Rp 2.000.000,00 per siswa per tahun.

Program Dana BOS ini tentu disambut baik oleh sekolah dan para orangtua siswa karena program ini memberi kesempatan bagi siswa kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara. Namun, dalam praktiknya, sekolah-sekolah masih mengalami kesulitan dalam melakukan pengelolaan keuangan Dana BOS tersebut sehingga tujuan utama Dana BOS untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia tidak tercapai.


Beberapa permasalahan dalam pengelolaan keuangan Dana BOS; pertama, pencairan yang tidak tepat waktu mengakibatkan sekolah kesulitan untuk membiayai kebutuhan operasional sekolah. Hal ini mengakibatkan sekolah terpaksa menggunakan uang pribadi Kepala Sekolah atau Wakil Kepala Sekolah untuk menanggulangi kebutuhan operasional sekolah sebelum Dana BOS diterima.

Kedua, pelaporan penggunaan Dana BOS oleh sekolah harus dilaksanakan secara tepat waktu meskipun pencairan dana tersebut terlambat. Bendahara Dana BOS yang biasanya merangkap sebagai guru pun harus mampu menyusun pertanggungjawaban Dana BOS dalam waktu yang singkat. Hal ini tentu saja berpotensi mengganggu konsentrasi guru tersebut dan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah.

Ketiga, penetapan jumlah dan pencairan Dana BOS adalah sesuai dengan tahun anggaran, sedangkan penerimaan siswa baru mengikuti tahun ajaran. Hal ini mengakibatkan perubahan jumlah siswa pada bulan Juni/Juli. Sekolah hanya diperbolehkan untuk melakukan perubahan data siswa sebanyak satu kali yaitu pada triwulan 3 dan 4 tahun anggaran. Namun, penambahan jumlah siswa selain triwulan 3 dan 4 tidak diimbangi dengan penambahan alokasi Dana BOS untuk sekolah.


Keempat, sejak 2015 jumlah Dana BOS yang diterima sekolah per siswa per tahun adalah sama. Sebagai contoh, sejak2015 hingga Permendikbud baru tentang Dana BOS diterbitkan pada 2019, SMP hanya menerima Dana BOS sebesar Rp 1.000.000,00 per siswa per tahun. Penurunan jumlah siswa mengakibatkan penurunan jumlah total Dana BOS yang diterima sekolah sedangkan kebutuhan operasional sekolah tidak turut berkurang, justru cenderung bertambah dari tahun ke tahun.

Selain itu, keterbatasan guru dan rendahnya tingkat kesejahteraan guru juga menjadi PR yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah melalui Kemendikbud dan Kementerian/Lembaga lain yang terkait. Mengutip pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, 40.000 orang guru pensiun setiap tahun sedangkan jumlah guru yang lulus tes CPNS tidak mampu menutupi jumlah kekurangan guru. Akibatnya, sekolah melakukan rekrutmen guru honorer dengan penghasilan yang jauh di bawah UMR.

Jumlah guru yang terbatas dengan penghasilan yang minim tentu berpengaruh terhadap kualitas dan komitmen guru dalam mencerdaskan bangsa. Oleh sebab itu, jika Indonesia percaya bahwa pendidikan adalah investasi bangsa, pemerintah harus segera merancang dan menerapkan suatu sistem rekrutmen, pelatihan dan penggajian guru yang menjamin ketersediaan guru, kesejahteraan guru dan peningkatan kualitas pendidikan bangsa.

sumber | dok. | detik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *