HARIANMEMOKEPRI.COM Epilepsi adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan kejang, yang dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya. Meskipun telah dikenal luas, banyak orang masih memiliki mitos dan kesalahpahaman tentang kondisi ini.

Menurut dr. Retno Jayantri Ketaren, Sp.S, dan Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, Sp.BS, FINPS, dari RS Siloam Lippo Village Karawaci, epilepsi adalah kondisi yang disebabkan oleh aktivitas listrik abnormal di otak dan merupakan salah satu gangguan neurologis paling umum, memengaruhi sekitar 1-5% populasi di seluruh dunia.

“Penyakit ini dapat muncul pada semua kelompok usia, baik anak-anak maupun orang dewasa yang lebih tua. Epilepsi juga tidak memandang etnis tertentu,” paparnya.

dr. Retno Jayantri Ketaren, Sp.S, menjelaskan bahwa kejang pada epilepsi dapat bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Penting untuk membedakan epilepsi dari gangguan kejang lainnya, seperti kejang febrile atau kejang akibat infeksi.

“Gangguan tersebut tidak berulang dan tidak disebabkan oleh masalah neurologis yang mendasar, sehingga pengetahuan tentang perbedaan ini sangat penting,” tambahnya.

Gejala epilepsi bervariasi tergantung pada jenis kejang dan individu yang terlibat. Gejala umum meliputi kehilangan kesadaran, gerakan tak terkendali seperti kejang tonik-klonik, dan sensasi aneh seperti perasaan dejavu atau halusinasi.

Setiap individu mungkin mengalami gejala yang berbeda. Sementara beberapa pasien mungkin hanya mengalami kejang ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari, yang lainnya dapat mengalami kejang yang lebih kompleks dan mengganggu.

Diagnosis epilepsi dilakukan melalui serangkaian langkah yang mencakup pengumpulan riwayat medis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Riwayat medis meliputi pertanyaan tentang frekuensi, durasi, dan karakteristik kejang, sementara pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengevaluasi kesehatan secara keseluruhan.

Pemeriksaan penunjang seperti EEG (electroencephalogram) dan MRI membantu mengidentifikasi aktivitas listrik abnormal di otak dan mendeteksi kemungkinan lesi atau kelainan struktural.

Salah satu inovasi dalam tatalaksana epilepsi adalah Vagus Nerve Stimulation (VNS). Menurut dr. Made Agus Mahendra Inggas, Sp.BS, FINPS, prosedur ini melibatkan pemasangan perangkat yang merangsang saraf vagus untuk mengurangi frekuensi kejang.

“VNS biasanya ditawarkan kepada pasien yang tidak mendapatkan hasil yang memuaskan dari pengobatan antiepilepsi konvensional. Pemasangan VNS dilakukan dengan anestesi umum. Sebuah perangkat kecil diimplan di bawah kulit dada dan dihubungkan ke saraf vagus di leher. Prosedur ini aman dan memiliki waktu pemulihan yang relatif singkat,” kata dr. Made Agus.

Setelah perangkat terpasang, VNS bekerja dengan memberikan impuls listrik teratur ke saraf vagus, yang dapat membantu menstabilkan aktivitas listrik di otak, sehingga mengurangi frekuensi dan intensitas kejang.

Salah satu keuntungan utama dari VNS adalah dapat digunakan bersamaan dengan obat antiepilepsi tanpa meningkatkan risiko efek samping. Bagi banyak pasien, VNS dapat menawarkan pengurangan kejang yang lebih signifikan, bahkan ketika obat tidak memberikan hasil yang memuaskan.

“Keuntungan ini menjadikan VNS sebagai pilihan menarik bagi mereka yang mencari solusi tambahan untuk mengelola kondisi mereka,” tuturnya.

Kriteria pasien yang mungkin menjadi kandidat untuk VNS meliputi mereka yang memiliki epilepsi yang tidak terkontrol dengan obat, menderita kejang parah yang memengaruhi kualitas hidup, dan tidak memiliki kondisi medis lain yang dapat membahayakan prosedur.