Kepri – Kebijakan Pemerintah terkait dengan permenaker No 02 tahun 2022 tentang tata cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Kebijakan ini menjadi polemik di kalangan para pekerja serikat buruh.

Pemerintah berpendapat kebijakan itu sesuai dengan tujuannya yakni sebagai simpanan untuk dimanfaatkan para pekerja di masa pensiun.

Sedangkan kelompok serikat buruh menolak kebijakan itu karena uang itu merupakan hak para pekerja.

Sebagaimana diketahui, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 menggantikan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang membolehkan peserta mencairkan dana JHT saat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Anggota DPRD Kepri dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Wahyu Wahyudin menyatakan menolak keras Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) itu.

Ia menegaskan, aturan tersebut lebih banyak merugikan buruh, utamanya jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Baru bekerja tiga tahun kemudian diputus kontrak tidak dapat pekerjaan lagi kemudian pulang kampung, ini siapa yang mau mengurus. Saya melihat pemerintah hanya bicara saja, saya tidak yakin realisasinya. Sebab dana itu akan di investasikan, jika untung kalau rugi bagaimana,”

“Tidak ada alasan pemerintah menahan uang milik para pekerja, sudah jelas itu uang pekerja yang dititipkan kepada pemerintah. Sedikitpun tidak ada uang pemerintah, masa harus menunggu usia 56 tahun,” kata Wahyu Wahyudin Anggota DPRD Kepri, Senin ( 21/02 )

Menurutnya Permenaker ini harus dilakukan kaji ulang sebelum diberlakukan pada bulan Mei 2022 mendatang. Tambah Wahyu, harusnya ada solusi lain sebelum menerbitkan permenaker yang meresahkan pekerja ini

“Banyak  teman-teman dari asosiasi dan serikat pekerja menolak aturan ini, harusnya pemerintah turun langsung kelapangan  jelaskan kepada buruh semua. Jangan langsung diketok, dalam kurun waktu 4 bulan harus langsung terealisasi,” lanjutnya.

Wahyu menerangkan, terkait mekanisme pencairannya, peserta memang masih bisa melakukan pencairan sebagian saldo JHT sebesar 30 persen dalam beberapa kriteria.

” Kalau memang yang 30 persen ini diterapkan atau diberikan, itu juga harus ada kepastian. Karena ini benar-benar jerih payah pekerja yang dipotong tiap bulan,” sambungnya.

Ia juga menyebutkan, Dalam upaya menolak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini, Para pekerja harus melakukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) atas aturan baru tersebut.

Pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 pemberi manfaat JHT bagi peserta yang tidak bekerja lagi dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan.

“Ke MA minta di review ulang, kalau aksi buruh menolak saya yakin ini bisa dibatalkan, aturan lama sudah jelas bisa diambil jika pekerja telah tidak bekerja dalam jangka waktu beberapa bulan bisa mencairkan. Intinya Permen Nomor 22 ini, merupakan permen terpahit di awal tahun,” pungkas Wahyu.