HARIANMEMOKEPRI.COM — Belakang ini sedang ramai diperbincangkan yakni komunitas motor Belasting Rijder DJP  klub moge Ditjen pajak yang ingin dibubarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Jika menarik kebelakang bahwa nama Belasting ternyata salah satu sejarah yang terjadi di Sumatera Barat. Jadi yang namanya Belasting itu konotasinya adalah sangat buruk, terkhusus bagi yang berdarah Minangkabau.

Perang Belasting atau yang lebih dikenal dengan “Perang Kamang” (karena berlangsung di Nagari Kamang, Agam, Minangkabau) adalah pertempuran antara rakyat Nagari Kamang dengan pasukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yang berlangsung pada tanggal 15-16 Juni tahun 1908.

Baca Juga: Toko Legend Buka Lowongan Kerja di Tanjungpinang, Cek Persyaratannya Disini

Perang Belasting yang dipicu oleh dinaikkannya belasting (pajak) oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang menaikkan pajak ini karena merasa kondisi keuangannya menurun.

Salah satu sumber pendapatan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda saat itu adalah tanaman kopi yang menjadi salah satu andalan rakyat di Ranah Minang. Akan tetapi, pada saat yang sama, bisnis kopi juga sedang mengalami penurunan.

Kebijakan kenaikan pajak ini diumumkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tanggal 21 Februari tahun 1908, yang kemudian diberlakukan sejak tanggal 1 Maret 1908.

Baca Juga: Coffee Center Buka Lowongan Kerja di Batam, Ada 2 Bidang Pekerjaan Cek Persyaratannya Disini

Selain menaikkan pajak, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga menerapkan pajak baru bagi rakyat Ranah Minang, yaitu pajak kepala, pemasukan barang, rodi, tanah, keuntungan, rumah tangga, penyembelihan, tembakau, dan pajak rumah adat.

Kebijakan itulah yang memicu terjadinya pergolakan dari rakyat Ranah Minang terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sehingga perang itu dikenal dengan nama “Perang Belasting” (belasting dalam bahasa Belanda artinya “pajak”).

Rakyat Minangkabau sangat merasa terhina dengan peraturan pajak (belasting) baru yang mengharuskan mereka membayar pajak atas tanah yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan belasting dianggap bertentangan dengan Adat Minangkabau, karena tanah adalah kepunyaan komunal (kaum).

Baca Juga: Stanleys Patisserie and Resto Buka Lowongan Kerja di Tanjungpinang, Ada 4 Bidang Pekerjaan Buruan Daftar

Hal itu membuat rakyat Minangkabau protes keras. Menyikapi itu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pun tak mau kalah, mereka mengirimkan pasukan Marsosé yang dikenal sadis. Akibatnya pertempuran akhirnya tak bisa terelakkan dan jiwa rakyat pun melayang.

Perang ini memunculkan seorang tokoh pejuang perempuan yang bernama “Siti Manggopoh” yang berasal dari Nagari Manggopoh, Lubuk Basung, Agam.

Baca Juga: Nokia Umumkan Logo Terbarunya, Ini Dia Penjelasannya

Perempuan pemberani ini mengkoordinir perlawanan rakyat Nagari Kamang terhadap kesewenang-wenangan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Perlawanan rakyat Nagari Kamang itu tak bisa dilupakan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sebab gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 15-16 Juni 1908 itu berhasil menewaskan 53 orang pasukan Belanda.

Belanda sangat kewalahan menghadapi Siti Manggopoh sehingga sampai mendatangkan pasukan bantuan dalam jumlah yang besar dari daerah lain.

Baca Juga: 2 Objek Desa Wisata Kabupaten Natuna Dapat Piagam Penghargaan, Simak Penjelasannya

Siti Manggopoh yang di kesehariannya adalah seorang emak-emak, namun Beliau memiliki kecerdasan emosional dan jiwa kepemimpinan. Itulah yang membuatnya mampu mengorganisir rakyat dan mengatur serangan mematikan ke markas pasukan Kolonial Hindia Belanda.

Pada akhirnya setelah melarikan diri ke hutan bersama Dalima, putrinya yang masih balita, selama 17 hari, Siti Manggopoh berhasil ditangkap oleh Belanda.

Baca Juga: Berita Terkini Raisa Adriana Penyanyi Perempuan Pertama Sukses Gelar Konser di Gelora Bung Karno

Beliau dipenjara selama 14 bulan di Lubuk Basung, Agam, lalu 16 bulan di Pariaman, dan kemudian selama 12 bulan di Padang. Suami Siti Manggopoh dibuang oleh Belanda ke Manado.

Siti Manggopoh meninggal dunia pada 20 Agustus 1965 di Gasan Gadang, Padang Pariaman. Jenazah Siti Manggopoh dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang.

Baca Juga: Kenali Asal Usul Teh Obeng Khas Kepulauan Riau Cek Bahan dan Cara Buatnya

Meski belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, pemerintah sudah mengakui jasa-jasa Siti Manggopoh dan menetapkannya sebagai Perintis Kemerdekaan sejak 1964.

Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor Pol: 1379/P.K. Lembaran Negara nomor 19/1964, tanggal 17 Januari 1964. Salah satu Peninggalan dan Jejak Perang Manggopoh, Masjid Siti Manggopoh yang dipergunakan untuk Rapat Perlawanan kepada Belanda.***