Oleh: Lutfi Humaidi
“Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB, ASN Balitbang Kementerian Pertanian dan Wakil Sekretaris GP. Ansor Cabang Kota Tanjungpinang”
Ramadhan telah tiba. Selama satu bulan penuh, umat Islam yang beriman diwajibkan berpuasa seharian, dari waktu subuh hingga azan maghrib berkumandang.
Bulan yang penuh rahmat dan maghfiroh ini, kita dididik untuk menjadi manusia yang bertakwa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 183,
” Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, semoga dengan itu kalian bertakwa”.
Meski tengah berada dalam ancaman pandemi corona (COVID-19), rasa syukur harus tetap dipanjatkan karena mendapat kesempatan untuk kembali bercengkerama dengan bulan suci.
Kita tidap bisa menafikan, bahwa puasa Ramadhan tahun ini harus dinikmati dengan cara yang berbeda.
Puasa tahun 1441 H/2020 M ini dianjurkan dijalani di rumah saja. kita mengisi Ramadhan dengan sikap yang berbeda.
Pemerintah, MUI, bersama ormas Islam telah sepakat mengimbau masyarakat untuk tidak menggelar acara atau kegiatan yang melibatkan banyak orang selama Ramadhan.
Ngabuburit, ifthor, sahur on the road, pengajian, tablig akbar, sebaiknya di-off-kan. Bahkan ibadah wajib dan sunah (shalat lima waktu, tarawih, tadarus, i’tikaf, hingga shalat Ied) dilaksanakan di rumah saja.
Patut kita sadari bersama, aturan seperti lockdown, karantina, PSBB, social/physical distancing, learning distancing, dan work from home ini semuanya secara tidak langsung justru mengajak kita untuk menikmati esensi puasa secara lebih mendalam.
Dengan berbagai aturan tersebut akhirnya kita dapat menjaga berbagai hal kemunkaran yang dapat membatalkan puasa atau mengurangi pahala puasa.
Rasulullah SAW mengingatkan umatnya, betapa banyak orang yang berpuasa Ramadhan tetapi pada akhirnya hanya merasakan lapar dan dahaga saja.
Pahalanya terkikis akibat tidak mampu menahan lisan dan perbuatannya dari berbagai macam kemunkaran.
Bulan Ramadhan, mendidik kita agar lebih peka dalam menjalani kehidupan.
Setiap Muslim hendaknya mencegah kemunkaran dan menahan diri dari segala ucapan dan tindakan yang merugikan orang lain, seperti berbohong, (menyebarkan) hoaks, menggunjing, menghasut, menyebar kebencian dan permusuhan, (melakukan) kekerasan, dan anarki.
Apakah Puasa Kita Esensi atau Sensasi?
Bulan Ramadhan suatu bulan yang agung, bulan yang suci, jika melakukan amal kebajikan maka nilai pahalanya yang sangat tinggi dan berlipat ganda.
Puasa bulan Ramadhan itu ibadah yang sangat rahasia hanya Allah dan pelakunya yang tahu.
Hingga Allah berkata dalam hadis kudsinya, puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya (H.R. Bukhari).
Sedangkan di kalimat kedua, Allah dengan tegas “mengakuisisi” ibadah puasa kita. Artinya, Allah merahasiakan tentang mekanisme “laba pahala” bagi orang yang menjalankan puasa. Allah tidak mau mem-blow up-nya. Allah begitu “posesif” terhadap puasa kita.
Dengan kata lain, pekerjaan puasa seorang hamba mendapat privilege dari Allah Swt. Sampai-sampai Tuhan sendiri yang akan kasih bonus dan hadiah bagi orang yang berpuasa.
Hal ini dapat menggugah kesadaran kita, bahwa pelajaran utama dari ibadah puasa adalah pentingnya rahasia, substansi, esensi dan nuansa, yang pancaindra tidak bisa menemukannya. Puasa adalah ibadah private.
Ibadah sunyi, sendiri dan sembunyi. Hanya Tuhan dan pelaku puasa itu sendiri yang tahu, bahwa dirinya sedang menjalani tirakat puasa.
Jika kita mengacu cara berpikir substansi, esensi, hingga tahap sublimasi puasa, maka pandemi ini juga dapat membawa nilai anugerah luar biasa.
Allah lagi sayang-sayangnya kepada kita. Pandemi menjadi cara Allah me-lockdown diri kita.
Bukan hanya lockdown badan, tetapi juga lockdown ego, nafsu, dan birahi terhadap segala sesuatu yang berbau duniawi. Lockdown secara total.
Mari kita tengok bersama. Bagaimana mayoritas masyarakat kita menyambut dan menjalani puasa di bulan suci? Sejak dulu hingga kini, Ramadhan selalu penuh kegilaan perayaan, sampai “wajah” puasa yang sejati jadi hilang, kabur, dan tenggelam.
Puasa kita berenang-renang di permukaan sensasi, belum menyelami samudra esensi. Kita sangat sibuk dengan agenda ngabuburit di mana, bukber di resto apa, takjil dan makan besarnya pakai menu apa, sampai sahur nanti makan nasi apa roti.
Bulan Ramadhan bukannya bersikap hemat. Kita malah boros pengeluaran. Kita pun kalap, lepas kendali dan kehilangan akurasi mana keinginan mana kebutuhan.
Momentum Meningkatkan Amal Ibadah di Tengah Pandemi
Bulan Ramadhan menjadi momentum kita meningkatkan amal ibadah di tengah musibah pandemi corona.
Baik ibadah vertikal (hablum minallah) dan maupun horizontal (hablum minannas). Oleh karena itu bukan hanya kemaslahatan individual, tetapi kemaslahatan sosial juga harus dikedepankan. Terlebih dalam kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini.
Umat dituntut menjaga keselamatan diri, keluarga, teman, tetangga dan masyarakat secara luas.
Kebijakan social distancing yang diterapkan pemerintah, semestinya justru menambah gairah ibadah kaum muslim di bulan Ramadhan ini.
Hal ini karena kaum muslimin bisa fokus di rumah masing-masing sehingga bisa maksimal dalam beribadah. Ada dua bentuk ibadah yang bisa dilakukan di masa-masa seperti ini.
Pertama, ibadah yang berkaitan dengan Allah atau hablum minallah. Di bulan Ramadhan, banyak amalan-amalan ibadah yang bisa dilakukan di rumah.
Amalan wajib tentu saja berpuasa. Amalan sunnah tarawih, witir, tadarus al-qur’an, dan masih banyak yang lainnya. Selain itu dianjurkan untuk memperbanyak berdzikir dan meminta ampunan serta pertolongan dari Allah Swt.
Apalagi pada bulan ini, Allah membuka pintu rahmat, maghfirah, dan itqun min adzabin naar (pembebasan dari siksaan api neraka).
Kedua, ibadah yang berkaitan dengan manusia atau hablum minannas. Pada Ramadhan kaum muslimin berusaha memuliakannya dengan mengeluarkan zakat fitri dan zakat mall, infaq dan shodaqoh untuk diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya.
Karena bulan Ramadhan tahun ini berbarengan dengan kondisi darurat Covid-19, tentu kegiatan di atas dapat dilakukan dengan protocol kesehatan dan sesuai dengan syariat yang sudah atur oleh Kementerian Agama.
Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan bahwa dalam pandemi virus corona seperti sekarang, tidak hanya kelas ekonomi miskin saja yang keuangannya terdampak.
Namun juga kelas menengah, dan kelas rentan miskin, atau mereka yang sedang menuju ke golongan kelas menengah dari kelas ekonomi bawah.
Kelompok yang berada di tengah ini rentan kembali ke kelas miskin jika ada bencana alam atau masalah penyakit kesehatan dengan skala yang luas seperti pandemi Covid-19 sekarang.
Memilih ‘berdiam diri’ di rumah itulah yang menjadi ibadah penting saat ini. Dengan berdiam diri di rumah, artinya kaum muslim berusaha memutus rantai penyebaran Covid-19. Disini juga memiliki makna ibadah hablum minannas, yakni menjamin keselamatan orang lain.
Dengan memilih berdiam diri di rumah dan fokus beribadah di rumah, artinya kaum muslim berusaha menyelamatkan diri sendiri dan orang lain dari pandemi corona yang mematikan.
Tentu ini menjadi sikap yang mulia dan menunjukkan bahwa rasa cinta tanah air masih mengalir di hati kaum muslimin.
Mereka tidak rela jika bangsanya hancur karena virus corona terus menyebar. Semoga saja gerakan ini bisa dilakukan oleh seluruh anak bangsa, bukan hanya terbatas pada kaum muslimin semata.
Sehingga upaya penyelamatan diri dan orang lain akan jauh lebih mudah dan lebih efektif.
Tinggalkan Balasan